top of page

BIOGRAFI IMAM AHLUS SUNNAH AHMAD BIN MUHAMMAD BIN HANBAL [BAGIAN KEDUA #2]

1. Kehidupan beliau di Baghdad setelah rihlah dan keluarganya [1]


Imam Ahmad menikah di umur 40 tahun dan memiliki dua istri: Abasah binti Al-Fadhl dan Rayhanah binti Umar serta seorang budak perempuan bernama Husna. Secara total Imam Ahmad memiliki 7 orang putra dan seorang putri: Shalih, Abdullah, Zaynab, Al-Hasan dan Al-Husain, Muhammad, Al-Hasan, dan Said. Shalih merupakan anak dari Abasah dan Abdullah didapat dari Rayhanah. Anak-anak beliau yang lain beliau peroleh dari Husna. Seluruhnya tumbuh besar kecuali Zaynab serta Al-Hasan dan Al-Husain yang meninggal saat masih anak-anak


Imam Ahmad membuka majelis ilmu di Baghdad. Dikatakan Majelis beliau dihadiri sampai 5000 orang bahkan lebih. Namun yang mencatat ilmu di majelis beliau hanya sekitar 500 orang saja dan sisanya hanya ingin belajar adab beliau. Beliau memiliki dua majelis: Majelis Khusus di Rumahya untuk murid khusus beliau beserta keluarganya dan Majelis Umum di Masjid yang dihadiri oleh orang-orang awam dan para penuntut ilmu. Majelis umum yang diampu oleh beliau biasanya dimulai Ba’da Ashar karena waktu tersebut waktu rehat bagi banyak orang pada waktu itu sehingga memudahkan mereka untuk hadir di majelis ilmu.


2. Kisah Kesabaran Imam Ahmad: Fitnah Al-Qur’an adalah Makhluk [2]


Ada satu fase dalam hidup Imam Ahmad yang menjadi sebab beliau digelari Imam Ahlus Sunnah. Sebuah kisah heroik dan monumental, yaitu kisah keteguhan dan kesabaran Imam Ahmad dalam bersabar mempertahankan Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dihadapan Khalifah yang zhalim. Inilah yang terus dipertahankan juga oleh para penganut Madzhab Hanbali dan menjadi ciri khas mereka, yaitu senantiasa menjaga kemurnian Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah secara turun temurun melanjutkan perjuangan pendiri Madzhab ini.


Periode pertama dari masa fitnah ini terjadi pada akhir kehalifahan Al-Ma’mun pada tahun 218 H. Dia sangat dekat dengan para Ulama sesat yang menganut paham Mutazilah yang mendalami filsafat. Sampai akhirnya dia menulis sebuah surat berisi perintah untuk mengikuti akidah sesat yang dia anut. Dia menulis dalam surat perintah untuk menjaga kebersihan akidah dan membawakan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah tetapi pada hakikatnya akidah yang dia bawa adalah akidah yang rusak kemudian mengirimkannya kepada para Qadha (Hakim) agar mengikuti akidah tersebut, yaitu Al-Quran adalah Makhluk [3].


Kemudian Al-Ma’mun memanggil 7 orang ulama: Muhammad bin Said, Abu Muslim Al-Mustamli Yazid bin Harun, Yahya bin Main, Zuhair bin Harb, Ismail bin Daud, Ismail bin Abi Mas’ud, dan Ahmad Ad-Dauruqi untuk dipaksa membenarkan akidah sesatnya kemudian mereka dikembalikan ke baghdad. Setelah itu, Al-Ma’mun menulis surat kedua yang lebih panjang dan memerintahkan Ishaq bin Ibrahim untuk mengirimkannya ke Majelis para Hakim dan hadir juga disitu Imam Ahmad. Ishaq membacakan isi surat tersebut dan seluruh yang hadir disitu bersepakat menolak isi surat tersebut.


Al-Ma’mun tidak menyerah dan kembali menulis surat ketiga dan memerintahkan Ishaq bin Ibrahim unruk menyeret siapa saja dari ulama yang menolak ajakan kepada akidah tersebut kemudian memerintahkan ulama tersebut untuk dipenggal. Barulah setelah turun titah ini dari Al-Ma’mun, semua ulama menerimanya karena terpaksa kecuali empat orang: Ahmad bin Hanbal, Sajjadah, Al-Qawaririy, dan Muhammad bin Nuh. Kemudian diuji kembali maka Sajjadah dan Al-Qawaririy menyerah dan terpaksa mengikuti keinginan Al-Ma’mun. Adapun Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh teguh diatas akidah yang benar. Mereka berdua pun diseret untuk bertemu dengan Al-Ma’mun dengan diikat menggunakan rantai besi. Namun sebelum sampai bertemu, Al-Ma’mun meninggal dunia.


Kekhalifahan berpindah ke tangan saudaranya Al-Ma’mun yang bernama Al-Mu’tashim. Dia juga tidak berbeda dengan saudaranya yang menyenangi filsafat. Pada fase ini dimulailah fase terberat dalam masa fitnah ini karena musibah demi musibah terus menimpa Imam Ahmad. Pertama, diawali dengan meninggalnya Muhammad bin Nuh, satu-satunya teman yang membersamainya bersabar dalam Akidah yang lurus di masa fitnah tersebut. Kemudian Imam Ahmad dimasukkan ke dalam penjara dan ditahan kurang lebih 28 bulan. Di dalam penjara Imam Ahmad diikat dengan rantai yang panjang dan beliau tetap mengimami shalat dengan itu. Meski dipenjara, orang-orang tetap bisa bertemu dengan beliau dan mengunjungi beliau untuk mengambil ilmu.


Disebutkan dalam kitab Al-Manaqib [4], di dalam penjara Imam Ahmad terus digoyangkan akidahnya oleh hakim utama kekhalifahan saat itu, Ahmad bin Abi Duad, seorang pembesar Mu’tazilah agar mengikuti paham Al-Qur’an adalah Makhluk tetapi beliau tetap teguh diatas akidah yang lurus. Setelah berlalu masa penjara, Imam Ahmad tidak dilepaskan begitu saja. Ahmad bin Abi Duad memprovokasi sang khalifah, Al-Mu’tashim untuk menyiksa Imam Ahmad. Beliau digiring kembali untuk di cambuk dan dipaksa lagi untuk mengikuti paham sesat tersebut. Beliau dicambuk sebanyak 30 cambukan yang sangat keras hingga menyebabkan beliau berdarah dan terluka. Di setiap beberapa kali cambukan beliau dipaksa untuk ikut mengamini aqidah sesat yang disebarkan tetapi beliau tetap teguh. Setelah terluka parah dan berlumuran darah, beliau dipulangkan ke rumahnya.


Al-Mu’tashim sebenarnya tidak mengenal Imam Ahmad secara langsung tetapi dia hanya mengenal Imam Ahmad dari kabar burung. Namun setelah bertemu langsung dipenjara, dia menjadi segan kepada Imam Ahmad karena mengetahui kedudukannya sebagai salah satu Imam kaum muslimin. Atas perintahnya lah Imam Ahmad kemudian dibebaskan dari penjara karena takur zhalim kepada sang Imam. Namun sang khalifah kembali terkena hasutan Ahmad bin Abi Duad untuk menyiksan dan mencambuk Imam Ahmad. Al-Mu’thasim menjadi khawatir Imam Ahmad meninggal karena sebab cambukan yang dia perintahkan bahkan dikisahkan Al-Mu’thasim rujuk dari pemahamannya di sisa hidupnya dan Imam Ahmad juga memaafkannya atas perintah pencambukan tersebut. Setelah peristiwa pencambukan tersebut, Imam Ahmad Kembali melanjutkan kegiatan mengajarnya.


Setelah Al-Mu’tashim wafat pada 228 H, kekhalifahan dipegang oleh anaknya, Al-Watsiq sampai wafat pada 232 H. Pada zaman Al-Watsiq, Imam Ahmad tidak berani keluar dari rumahnya untuk melaksanakan kegiatan mengajarnya pada zaman Al-Watsiq karena Al-Watsiq lebih mendengarkan masukan dari Ahmad bin Abi Duad dibanding Ayahnya dan fitnah kepada para Ulama sunnah terus digencarkan sampai datang seorang syaikh yang bernama Abdullah bin Muhammad bin Ishaq Al-Adzarami untuk menantang berdebat Ahmad bin Abi Duad di depan Khalifah Al-Watsiq. Kisah ini dibawakan oleh Ibnul Jauzi dalam ­­Al-Manaqib [5] kemudian dinukil kembali oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam Lum’atul Itiqad [6]. Abdul Ghani Al-Maqdisi dalam Mihnatu Al-Imam Ahmad [7] juga membawakan kisah ini dalam riwayat yang berbeda. Berikut adalah yang ditulis oleh Ibnu Qudamah:


Muhammad bin ‘Abdurrahman al-Adrami berkata kepada seseorang yang berbicara bid’ah dan mendakwahkannya kepada manusia (Ahmad bin Abi Duad):


“Apakah hal itu diajarkan Rasulullah, Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali? Atau justru mereka tidak mengetahuinya?” Jawabnya, “Mereka tidak mengetahuinya?”


Ia berkata, “Mungkinkah ada sesuatu yang tidak mereka ketahui tetapi diketahui olehmu?” Lelaki itu menjawab, “Aku ralat bahwa mereka mengajarkannya.”


Al-Adrami berkata, “Apakah mereka mampu membicarakannya tetapi tidak mendakwahkannya kepada manusia? Atau mereka tidak mampu?” Jawabnya, “Bahkan mereka mampu.”


Al-Adrami berkata, “Mungkinkah sesuatu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya merasa cukup (dengan syariat yang mereka sampaikan) tetapi justru kamu tidak?” Lelaki itu pun terpatahkan. Khalifah yang hadir di sana berkata, “Allah tidak memberi kecukupan (keluasan) kepada orang yang tidak merasa cukup apa yang membuat mereka cukup.” [8]


Jatuhlah posisi Ahmad bin Abi Duad setelah itu di depan Al-Watsiq kemudian sang khalifah berhenti memberikan fitnah (ujian) kepada para Ulama. Dikisahkan juga setelah itu Al-Watsiq bertaubat dan meninggal tidak lama setelah itu.


3. Wafatnya Imam Ahmad bin Hanbal


Imam Ahmad wafat pada hari jumat tanggal 12 Rabiul Awwal 241 H pada umur 77 tahun. Dikisahkan bahwa yang menshalati jenazah beliau banyak sekali. Dikisahkan bahwa yang menshalati beliau hampir mencapai 2 juta orang [9]. Ini lah pembeda antara Ahlus Sunnah dan mereka yang menyimpang. Imam Ahmad pernah berkata kepada anaknya Shalih: “Katakanlah kepada golongan yang menyimpang bahwa yang membedakan diantara kita dan mereka adalah Hari kematian” [10].


4. Karya Monumental Imam Ahmad: Kitab Al-Musnad [11]


Imam Ahmad meninggalkan sebuah karya fenomenal, sebuah magnum opus, sebuah kitab hadits yang menjadi rujukan banyak ulama hingga saat ini yaitu kitab Al-Musnad atau masyhur dikenal sebagai Musnad Imam Ahmad. Musnad adalah sebuah kitab hadits yang disusun bab nya berdasarkan nama dari Shahabat. Misal Musnad Abu Bakar yang artinya Musnad yang berisi riwayat hadits dari Rasulullah melalui Shahabat Abu Bakar.


Dikisahkan Imam Ahmad memulai menulis kitab Al-Musnad sejak pulang mengambil hadits dari Abdurrazzaq bin Hammam pada sekitar tahun 200 H. Al-Hafizh Abu Musa Al-Madini berkata: “Ditulis dengan tulisan Ahmad bin Muhammad Al-Bardani dari Abi Ali’ bin Shawwaf dia berkata: Aku mendengar Abdullah bin Ahmad berkata: Ayahku menulis kitab Musnad setelah kembali dari mengabil riwayat dari Abdurrazaq...”. Umur beliau saat 200H adalah sekitar 36 tahun maka beliau sebelum menulis Al-Musnad telah terlebih dahulu rihlah dalam menuntut ilmu hampir 20 tahun lamanya.


Sebagian Ulama mengatakan jumlah Shahabat yang berhasil Imam Ahmad kumpulkan dalam Musnadnya mencapai lebih dari 800 shahabat. Ada juga yang mengatakan mencapai lebih dari 1000 shahabat serta ada juga yang mengatakan mencapai 900 shahabat. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan masnuskrip serta sebab lainnya. Adapun guru Imam Ahmad dalam Al-Musnad yang beliau ambil riwayatnya mencapai sekitar 283 orang.


Jumlah hadits yang tertulis dalam musnad Ahmad disebutkan oleh para Ulama terdahulu mencapai hampir 40.000 hadits. Namun setelah di cek oleh salah satu Muhaqqiq (Peneliti) terkenal, Syaikh Syu’aib Al-Arnauth, jumlah hadits nya hanya mencapai 27.647 hadits. Kemungkinan terjadi perbedaan ini karena ulama zaman dahulu mengitung hadits yang terulang matan (isi) nya sehingga menjadi lebih banyak. Para Ulama berbeda pendapat mengenai derajat hadits pada Musnad Imam Ahmad. Apakah semuanya Shahih dan Hasan atau sebagiannya ada yang dhaif atau bahkan ada yang maudhu (palsu)? Syaikh Syu’aib Al-Arnauth menjelaskan bahwa dalam Musnad Ahmad ada hadits yang Shahih, Hasan, Dhaif yang ringan, serta Dhaif yang berat hingga menyerupai Maudhu’ (Palsu).


Banyak Ulama memuji karya Imam Ahmad ini. Diantara pujian yang ditujukkan kepada kitab ini:

Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Sebuah karya yang agung yang diterima oleh umat Islam dengan sebenar-benar penerimaan dan penghormatan. Al-Musnad dijadikan induk bagi kitab-kitab hadits agar merujuk padanya dan menjadi salah satu referensi ketika terjadi perselisihan dalam suatu hadits”


Al-Hafizh Abu Musa Al-Madini berkata: “Sebuah kitab yang agung, referensi yang kokoh bagi para Ahli Hadits, diseleksi dari banyak sekali hadits dan riwayat, menjadikannya salah satu kitab hadits induk dan rujukan ketika terjadi perdebatan”


Al-Imam Ash-Shan’ani berkata: “Musnad terbesar, yang paling baik susunannya, dan yang terbaik penyeleksiannya. Tidak masuk ke dalamnya (secara umum) kecuali yang bisa dijadikan hujjah”

Imam Ahmad juga memiliki karya-karya lainnya yang penting di berbagai macam ilmu seperti Ushul As-Sunnah, Ar-Rad Ala Az-Zanadiqah wal Jahmiyyah, Al-‘Ilal wa Ma’rifatur Rijal, Az-Zuhud, Al-Wara’, Fadhailus Shahabah, Ahkamun Nisa, dan lain-lain.

Selesai pembahasan Biografi Imam Ahmad bin Hanbal. Walhamdulillah


Disusun Oleh

J. Muhammad Salik, S.Si

Mahasiswa S1 Syariah KIU

Alumni S1 Kimia IPB University

Ketua Markaz Ilmu

REFERENSI:

[1] Diringkas dari Al-Madzhab Al-Hanbali (1/53-60)

[2] Diringkas dari Al-Madzhab Al-Hanbali (1/71-80)

[3] Al-Qur’an adalah Kalamullah dan bagian dari Allah. Apabila Al-Qur’an dianggap Makhluk, maka konsekuensinya adalah ada bagian dari Allah yang berupa Makhluk dan hal ini tidak bisa diterima secara Akal begitu juga secara nash dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah.

[4] Manaqib Al-Imam Ahmad (Hlm. 432)

[5] Manaqib Al-Imam Ahmad (Hlm. 475-480)

[6] Lum’atul Itiqad (Hlm. 9)

[7] Mihnatu Imam Ahmad (Hlm. 168-174)

[8] Abdullah bin Muhammad bin Ishaq Al-Adzrami. Seorang Ulama Ahlus Sunnah dari Kalangan Ahli Hadits. Seorang yang Tsiqah (Lihat Tahdzib At-Tahdzib [2/420] dan Tarikh Baghdad [11/271]). Faqihuz Zaman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam At-Ta’liq Al-Mukhtashar ala Lum’atil Itiqad (Hlm. 47) berkata:

“Al-Adrami (Al-Adzrami) telah membangun perdebatannya ini dalam beberapa tingkatan untuk menguraikan pada setiap tingkatan hingga lawan debatnya tak kuasa menjawab.

Tingkatan pertama: -Ilmu- Al-Adrami (Al-Adzrami) bertanya kepada lawan debatnya apakah Nabi mengetahui tentang kebid’ahan ini dan juga para Khulafa Ar-Rasyidin? Maka pelaku bid’ah tersebut menjawab: Tidak

Jawaban ini adalah sebuah penafian yang mengadung konsekuensi adanya kekurangan pada diri Nabi dan para Khulafa Ar-Rasyidin karena mereka Jahil (tidak mengetahui) pada perkara penting dalam agama ini. Maka ini adalah bantahan bagi pelaku bid’ah apabila dia menganggap mereka tidak mengetahuinya, oleh karena itu Al-Adrami (Al-Adzrami) melanjutkannya ke tahapan berikutnya.

Tingkatan kedua: Apabila mereka tidak mengetahuinya bagaimana kamu -wahai pelaku bid’ah- bisa mengetahuinya? Apakah mungkin Allah تعالى menutupi sesuatu dari agama ini kepada Nabi dan para Khulafa Ar-Rasyidin ilmu dalam agama ini sedangkan Allah membukannya untukmu?

Maka sang pelaku bid’ah pun menarik ucapannya dan berkata: Mereka mengetahuinya

Dari sini Al-Adrami (Al-Adzrami) melanjutkan kembali ke tahapan berikutnya

Tingkatan ketiga: Apabila mereka mengetahuinya dan merasa cukup, maksudnya merasa aman untuk tidak membicarakannya dan tidak menyeru manusia kepada kebid’ahan ini (yang engkau anggap mereka mengetahuinya) atau mereka merasa tidak cukup?

Maka pelau bid’ah ini pun menjawab bahwa Rasulullah dan para Khulafa Ar-Rasyidin merasa cukup untuk diam dan tidak membiacaraknnya.

Al-Adrami (Al-Adzrami) pun menutup perdebatan ini dengan:

Sesuatu yang Rasulullah dan para Khulafa Ar-Rasyidin merasa cukup dengannya apakah engkau tidak merasa cukup dengannya?

Tediamlah pelaku bid’ah tersebut dan tidak bisa menjawab lagi

[9] Al-Manaqib Al-Imam Ahmad (Hlm. 557-558), Al-Madzhab Al-Hanbali (1/90)

[10] Al-Manaqib Al-Imam Ahmad (Hlm. 560) Tarikh Dimasyq dalam Ahmad bin Hanbal Imam Ahlis Sunnah (Hlm. 302)

[11] Tarjamah Al-Imam Ahmad wa Qishshatuhu Ma’al Musnad (Hlm 46-58)

[12] Al-Madzhab Al-Hanbali (1/101-104)

0 views0 comments

Recent Posts

See All
Post: Blog2 Post
bottom of page