top of page
J. Muhammad Salik

BIOGRAFI IMAM AHLUS SUNNAH AHMAD BIN MUHAMMAD BIN HANBAL [BAGIAN PERTAMA #1]

Updated: Oct 9, 2020

1. Nama, Gelar, dan Kelahirannya


Nama beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad Asy-Syaibani Al-Marwazi Al-Baghdadi. Lahir pada bulan Rabiul Awwal pada tahun 164 H di Baghdad. Beliau berasal dari Marwa tetapi saat ibunya hamil, ibunya pergi ke Baghdad dan melahirkan beliau disana. Kakeknya, Hanbal bin Hilal adalah salah satu pendiri Daulah (Pemerintahan) Abbasiyyah sedangkan Ayahnya adalah salah satu tentara Marwa [1].


Imam Ahmad kecil hidup dalam keadaan yatim dan menghabiskan masa kecilnya di Baghdad dengan belajar di Kuttab yang mengajarkan bahasa arab dan tempat menghafal Al-Qur’an. Beliau sudah terkenal akan kecerdasaannya, kehebatannya, dan karakternya. Imam Ahmad kecil dikenal sangat bersemangat untuk menuntut ilmu sampai-sampai sudah bersiap sejak dini hari sehingga ibunya sering menahannya dan berkata: “Tunggu hingga Adzan Shubuh berkumandang atau sudah masuk pagi hari” [2].


Al-Hafizh Haytsam bin Jamil Al-Anthaki رحمه الله berkata: “Apabila anak kecil ini berumur panjang, maka dia akan menjadi Hujjah (pegangan) bagi orang di zamannya” [3]. Perkataan beliau terbukti benar dan Imam Ahmad menjadi adalah salah satu dari empat Imam Madzhab yang disepakati keimamannya oleh kaum muslimin seluruhnya [4].


Al-Imam Asy-Syafii رحمه الله berkata: “Imam Ahmad adalah Imam dalam delapan hal, yaitu Imam dalam Hadits, Imam dalam Fiqh, Imam dalam Bahasa Arab, Imam dalam Qur’an, Imam dalam Kefakiran, Imam dalam Kezuhudan, Imam dalam Wara’, dan Imam dalam Sunnah” [5]


Al-Khatib Al-Baghdadi رحمه الله berkata: “Imamnya Ahli Hadits, Penolong agama Allah, Pejuang Sunnah, Yang bersabar diatas Al-Mihnah (Ujian)” [6]


Al-Imam Adz-Dzahabi رحمه الله berkata: “Beliau adalah Imam yang sesungguhnya, beliaulah Syaikhul Islam” [7]


Ibnu Abdil Hadi Al-Hanbali رحمه الله berkata: “Imam Ar-Rabbani, Syaikhul Islam, Imamnya kaum Muslimin di zamannya” [8]

2. Perjalanan Menuntut Ilmu [9]


Imam Ahmad memulai perjalanan mencari riwayat hadits pada tahun 179 H diumur 15 tahun bersamaan dengan tahun kematian Imam Ahli Madinah, Malik bin Anas رحمه الله dan Imamnya Ahli Bashrah, Hammad bin Zaid رحمه الله. Beliau memulai dengan memulai dengan mendengar hadits dari Masyayikh di Baghdad kemudian rihlah ke berbagai tempat seperti Kufah, Bashrah, Makkah, Madinah, Yaman, Syam, dan Al-Jazirah dan menulis ilmu dari ulama-ulama negeri yang di datanginya.


Diantara guru pertama Imam Ahmad adalah Abu Yusuf Al-Qadhi -muridnya Imam Abu Hanifah-. Imam Ahmad berkata: “Guru pertama yang saya tulis hadits darinya adalah Abu Yusuf”. Selain belajar hadits, beliau juga belajar fiqh dari Abu Yusuf di Madrasah Ahlu Ra’yi. Abu Bakar bin Khallal رحمه الله : “Imam Ahmad pernah menulis kitab-kitab Ahli Ra’yu kemudian menghafalnya dan tidak lagi mempelajarinya lagi”.


Diantara guru-guru hadits pertama Imam Ahmad adalah Ali bin Hasyim Al-Baridi tetapi tidak lama karena maut segera menjemput guru beliau ini. Setelah itu beliau mengambil riwayat hadits dari Husyaim bin Basyir Al-Wasithi dan memperbanyak riwayat hadits darinya. Beliau belajar darinya mulai dari tahun 179 H hingga meninggalnya Husyaim pada tahun 183 H. Imam Adz-Dzahabi berkomentar tentang Husyaim bin Basyir: “Syaikhul Islam dan Muhaddits nya Badgdad”. Imam Ahmad berkata: “Aku mengambil riwayat dari Husyaim berupa Kitab Haji hingga 1000 Hadits, sebagian riwayat Tafsir, Kitab Qadha, dan sebuah kitab kecil”. Beliau juga meriwayatkan darinya kitab Janaiz.


Imam Ahmad rihlah setelah wafat gurunya Husyaim dan sebelum rihlah beliau telah mengambil riwayat dari Abdurrahman bin Mahdi dan belajar darinya. Beliau keluar dari Baghdad ke Kufah dan beliau mengambil riwayat hadits dari Muawiyah bin Khazim Adh-Dhariri -salah seorang murid terbaik Al-A’masy- dan Waki’ bin Jarrah -Sumber Ilmu peninggalan Sufyan Ats-Tsauri dan riwayatnya-. Beliau ini juga guru dari Imam Syafii. Di Bashrah ini Imam Ahmad juga bertemu dengan Ahli Fiqih dari Madrasah Ahli Ra’yu. Beliau belajar dan mengambil faidah dari mereka. Dalam perjalanan ini juga, Imam Ahmad mengalami kesulitas bekal sehingga harus pulang ke Baghdad menemui ibunya.


Setelah itu beliau rihlah ke Bashrah selama lima kali dari kurun waktu 186-200 H tetapi tidak sempat bertemu Hammad bin Zaid karena beliau telah terlebih darulu meninggal. Sebagai gantinya, beliau bertemu dengan Ismail bin Ulayyah, Abdurrahman bin Mahdi, Yahya bin Al-Qaththan, Al-Mu’tamir bin Sulaiman, dan Gundar. Beliau sempat rihlah ke Wasith tahun 187 H dan mengambil riwayat dari Yazid bin Harun namun beliau tidak sempat bertemu Jarir bin Abdul Hamid di Ray karena tidak memiliki biaya untuk rihlah kesana dan juga tidak sempat bertemu Yahya bin Yahya An-Naysaburi salah satu perawi yang memiliki banyak riwayat dari Imam Malik bin Anas.


Beliau juga rihlah ke Hijaz pada tahun 187 H dan tinggal di Mekkah untuk berhaji yang pertama. Beliau tidak sempat bertemu Al-Fudhayl bin Iyadh maka beliau mengambil dari Ibrahim bin Sa’ad Az-Zuhriy dan mengambil riwayat serta belajar dari Sufyan bin Uyaynah. Pada tahun ini juga beliau sempat bertemu dengan Imam Syafii dan sempat belajar padanya sebelum belajar kembali kepada Imam Syafii di Baghdad. Imam Ahmad berhaji selama 5 kali: Tahun 187 H, 191 H dan bertemu dengan Al-Walid bin Muslim -Muhadditsnya Syam-, 196 H, 198 H, dan 199 H. Sebab utama beliau berhaji berkali-kali adalah untuk belajar dan mengambil riwayat dari Sufyan bin Uyaynah.


Kemudian pada tahun 199 H Imam Ahmad rihlah ke Shan’a di Yaman bersama Ishaq bin Rahawaih serta Yahya bin Main untuk bertemu Abdurrazzaq bin Hammam untuk mengambil riwayat Az-Zuhri dari Salim dari Ayahnya (Ibnu Umar) dan riwayat Az-Zuhri dari Said bin Musayyib dari Abu Hurayrah. Setelah itu, Imam Ahmad rihlah ke Syam dan Al-Jazirah untuk belajar dari para Muhaddits dan Ulamanya.


Jumlah guru Imam Ahmad yang terhitung dari kitab beliau “Al-Musnad” adalah 280 orang Syaikh. Diantar guru-guru hadits Imam Ahmad yang paling berpengaruh kepada beliau adalah Husyaim bin Basyir, Yazid bin Harun, Ismail bin Ulayyah, Abdurrazzaq bin Hammam, Waki bin Jarrah, Hafs bin Ghayyats, Abdurrahman bin Mahdi, Yahya bin Al-Qaththan, dan selainnya. Adapun guru beliau dalam Fiqh, Ushul, dan ilmu-ilmu lainnya maka yang paling berpengaruh adalam Imam Syafii.


Imam Ahmad bertemu kembali dengan Imam Syafii di Baghdad dalam rihlah Imam Syafii kesana untuk kali kedua. Adapun pada kali pertama, Imam Syafii rihlah ke Baghdad untuk bertemu Muhammad bin Al-Hasan -Murid Utama Abu Hanifah dan juga salah seorang murid serta perawi Imam Malik-. Pertemuan kedua Imam Ahmad dan Imam Syafii yang kedua terjadi pada tahun 195 H dan berlangsung hingga tahun 197 H. Pada pertemuan kedua ini lah Imam Ahmad banyak belajar kepada Imam Syafii karena Imam Syafii telah menulis berbagai kitab dan mengajarkannya pada manusia.


Imam Ahmad meriwayatkan dari Imam Syafii kitab “Al-Muwatha” karya Imam Malik dan beliau juga belajar Fiqh Syafii dalam Madzhabnya yang Qadim (Terdahulu) yang berisi Fiqh Imam Malik dan Ahli Madinah. Imam Syafii kembali rihlah ke Baghdad pada Akhir tahun 198 H serta menetap beberapa bulan hingga rihlahnya pada tahun 199 H ke Mesir dan meninggal disana pada tahun 204 H. Di Mesir ini beliau mengubah Fiqhya menjadi Madzhab Al-Jadid dengan menulis kitab Al-Umm setelah belajar kepada Imam Al-Layts bin Saad.

3. Keilmuan dan Pujian Ulama kepada Imam Ahmad


Imam Ahmad telah diakui keilmuannya oleh para Ulama besar lainnya sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafii bahwa Imam Ahmad adalah Imam atau Ahli dalam banyak hal. Keilmuan yang jelas terlihat di dalam diri Imam Ahmad tentu adalah keilmuan beliau dalam Ilmu Hadits. Imam Syafii juga berkata kepada Imam Ahmad: “Engkau lebih mengetahui tentang hadits dan perawi-perawinya. Apabila ada hadits yang shahih maka beritahukan kepadaku meski itu dari Kufah maupun Syam hingga aku beramal dengan hadits itu” [10]


Al-Imam Abu Ya’la Al-Farra’ رحمه الله berkata: “Pujian Imam Syafii untuk Imam Ahmad tentang keimaman beliau dalam Ilmu Hadits maka ini tidak ada khilaf maupun perdebatan justru diperoleh darinya kesepakatna dan ijma dari para Ulama tentang keimaman beliau. Beliau menguasai Jarh wa Tadil, Ma’rifat dan Ta’lil, serta Bayan (Penjelasan) dan Ta’wil” [11]. Bukti kongkrit lain keimaman Imam Ahmad dalam hadits dengan banyaknya murid beliau dalam riwayat dan enam Imam Ahli Hadits: Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah juga berguru kepada Imam Ahmad serta mengambil riwayat dari beliau [12]. Selain pemahaman beliau tentang shahih dan dhaifnya suatu hadits, keilmuan beliau dalam hadits juga ditunjang oleh banyaknya hafalan yang beliau miliki.


Abu Zur’ah Ar-Razi berkata: “Imam Ahmad bin Hanbal hafal satu juta hadits” kemudian ditanyakan kepada beliau: “Bagaimana engkau mengetahui itu?” maka beliau menajawab: “Aku bermudzakarah hafalan hadits dengan Imam Ahmad dan aku mengambil banyak bab hadits dari beliau” [13]. Beliau juga pernah ditanya: “Siapa yang lebih kuat hafalannya, engkau atau Imam Ahmad?” maka beliau menjawab: “Imam Ahmad”. Ditanyakan lagi kepada beliau: “Bagaimana engkau mengetahuinya?” beliau menjawab: “Aku pernah membaca kitab-kitabnya Imam Ahmad dan tidak aku temukan di dalamnya awail juz-juz dari nama-nama yang beliau riwayatkan hadits darinya (sebagai sesuatu untuk membantu menghafal) tetapi beliau menghafalnya langsung seluruh juz yang beliau dengan dari gurunya (tanpa bantuan awail). Adapun aku tidak sanggup melakukannya” [14].


Abdul Wahhab bin Warraq berkata: “Tidak pernah aku melihat seseorang seperti Ahmad bin Hanbal”. Mereka berkata: “Apa yang menjadi dasar bagimu dari ilmu dan keutamaan Imam Ahmad atas semua orang yang pernah engkau ketahui?”. Beliau menjawab: “Imam Ahmad adalah seseorang yang ditanyakan padanya 60.000 permasalahan dan dia menjawab dengan “Akhbarana” dan “Haddatsana” [15]. Keduanya adalah sighah (metode) periwayatan. Maknanya Imam Ahmad tidaklah menjawab pertanyaan melainkan dengan riwayat dari Nabi atau Shahabat atau Tabiin dan Hal ini menunjukkan luasnya ilmu dan hafalan Imam Ahmad. Al-Imam Ibnu Abi Syaibah berkata: “Tidak pantas dikatakan kepada Imam Ahmad, ‘Darimana sumbernya engkau bisa berkata demikian?’ [16].


Keilmuan beliau dalam Fiqh juga tidak diragukan lagi dan banyak ulama mempersaksikan keilmuan Imam Ahmad dalam Fiqh. Al-Imam Abu Ya’la Al-Farra’ رحمه الله berkata:


“Keimaman Imam Ahmad dalam Fiqh maka itu adalah benar, cocok, pasti, dan jelas. Karena sumber dari Fiqh itu adalah Kitabullah dan Sunnah Rasulullah serta perkataan para Shahabat. Baru setelah tiga hal ini dipakailah qiyas. Qiyas diletakan setelah ketiganya karena qiyas hanyalah tabi’ (pengikut). Para Ulama terdahulu tidaklah menulis kitab dalam fiqh begitu juga tidak membuat tulisan khusus maupun kalam dalam fiqh. Sumber fiqh mereka adalah hafalan mereka dari Hadits dan Atsar serta kumpulan dari khabar kemudian berfatwa berdasarkan itu. Siapapun yang mengambil ilmu dan fiqh dari para ulama pasri memiliki riwayat pengambilan ilmu dari ulama tersebut dan juga secara dirayah (pemahaman) belajar dari mereka. Barangsiapa yang mencermati hal tersebut dan benar-benar mennyelaminya maka dia akan bersaksi atas semua yang kami sebutkan (tentangn keimaman Imam Ahmad dalam Fiqh)" [17].


Hal ini dibuktikan dengan banyaknya murid-murid Imam Ahmad dalam fiqh merupakan ulama-ulama besar di zamannya: Shalih dan Abdullah -kedua anak beliau-, Hanbal -keponakannya-, Ishaq bin Manshur Al-Kausaj, Imam Abu Dawud -penulis Sunan-, Abu Ishak Ibrahim Al-Harbi, Abu Bakar Al-Atsram, Abu Bakar Al-Marudzi, Abdul Malik Al-Maymuni, Muhanna Asy-Syami, Harb Al-Kirmani, Abu Zur’ah dan Abu Hatim Ar-Razi -Dua ulama Jarh wa Ta’dil-, dan selainnya [18].


Imam Abu Tsaur berkata: “Imam Ahmad bin Hanbal lebih ‘Alim dan lebih Faqih dari Sufyan Ats-Tsauri” . Ishaq bin Rahawaih berkata: “Ahmad bin Hanbal Imam kami”. [19]. Ishaq bin Rahawaih juga pernah bermajelis bersama Yahya bin Main dan Imam Ahmad serta Ulama hadits lainnya tentang suatu hadits kemudian menjelaskan jalur-jalurnya. Beliau pun berkata: “bukankah ini sudah shahih secara Ijma’?” mereka pun menjawab: “benar”. Beliau pun kembali berkata: “Apa maksud hadits ini? Apa tafsirnya? Apa faidah fiqh nya?” maka semuanya pun bungkam kecuali Imam Ahmad bin Hanbal [20].


Ahmad bin Said Ad-Darimi berkata: “Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih hitam rambutnya, lebih hafal tentang hadits Rasulullah juga lebih faham tentang fiqh dan maknanya dibanding dengan Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal”. Imam Asy-Syafii berkata: “Aku keluar dari Baghdad dan tidaklah aku bertemu dengan seorang laki-laki yang lebih utama, lebih alim, lebih faqih, dan lebih bertaqwa dibandin Ahmad bin Hanbal”. Abdul Wahhab bin Al-Warraq berkata: “Aku mendengar sabda Rasulullah: ‘kembalikanlah kepada Ahlinya’ maka aku mengembalikan permasalahan tersebut kepada Imam Ahmad bin Hanbal karena dia adalah yang paling Alim pada zamanannya” [21].


Beliau juga menguasi berbagai ilmu lain seperti Bahasa Arab. Kepiawaian beliau dalam penguasaan bahasa dibuktikan dengan ketepatan beliau dalam berbahasa dan tidak pernah keliru. Begitu juga beliau menguasai makna kata-kata gharib (asing) yang beliau pergunakan untuk menafsirkan nash-nash dalil. Begitu juga beliau menguasai tafsir dan dikatan beliau memiliki kitab karangan tafsir yang memuat hampir 1000 hadits tentang tafsir dan berbagai cabang ilmu lainnya dalam Ulumul Qur’an. Adapun penguasaan beliau dalam Ilmu Aqidah tidak perlu diragukan lagi dan kisah kesabaran beliau dalam menentang fitnah terbesar dalam sejarah kaum muslimin, yakni fitnah Al-Quran adalah makhluk menjadi bukti bahwa beliau adalah Imam Ahlus Sunnah sejati [22].


Telah selesai untuk bagian pertama dan in syaa a Allah akan dilanjut dengan bagian kedua.

Disusun Oleh

J. Muhammad Salik, S.Si

Mahasiswa S1 Syariah KIU

Alumni S1 Kimia IPB University

Ketua Markaz Ilmu

REFERENSI:

[1] Thabaqat Al-Hanabilah (1/39), Manaqib Imam Ahmad (Hlm. 12-20), Siyar A’lamin Nubala (11/178), Tarikh Baghdad (6/90-91)

[2] Al-Madzhab Al-Hanbali (1/41),

[3] Al-Madzhab Al-Hanbali (1/41), Siyar A’lamin Nubala (11/185)

[4] Manaqib Al-Aimmah Al-Arbaah (Hlm. 52 & 127), Siyar A’lamin Nubala (11/178),

[5] Thabaqat Al-Hanabilah (1/10)

[6] Tarikh Baghdad (6/90-91)

[7] Siyar A’lamin Nubala (11/177-178)

[8] Manaqib Al-Aimmah Al-Arbaah (Hlm. 127)

[9] Dirangkum dari Al-Madzhab Al-Hanbali (1/43-52)

[10] Thabaqat Al-Hanabilah (1/13)

[11] Thabaqat Al-Hanabilah (1/10)

[12] Siyar A’lamin Nubala (11/182)

[13] Tarikh Baghdad (6/100), Siyar A’lamin Nubala (11/187)

[14] Siyar A’lamin Nubala (11/187)

[15] Thabaqat Al-Hanabilah (1/13)

[16] Siyar A’lamin Nubala (11/187)

[17] Thabaqat Al-Hanabilah (1/14)

[18] Thabaqat Al-Hanabilah (1/14-15)

[19] Thabaqat Al-Hanabilah (1/15-16)

[20] Tarikh Baghdad (6/99), Siyar A’lamin Nubala (11/188)

[21] Tarikh Baghdad (6/99), Siyar A’lamin Nubala (11/195)

[22] Lihat Thabaqat Al-Hanabilah (1/16-28)

10 views0 comments

Comments


Post: Blog2 Post
bottom of page